IBU ERDAS IBU BERKUALITAS

Dikutip dari Wikipedia.org, di Amerika dan 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, Hari ibu atau Mother’s Day dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Days diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Di Indonesia sendiri penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, bertepatan dengan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal 22 Desember dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Namun, tak cukup rasanya jika penghargaan terhadap jasa-jasa ibu hanya diperingati satu hari saja dalam setahun, baik itu diwujudkan dalam bentuk permohonan maaf, ucapan terima kasih, maupun pemberian hadiah kepada ibu. Banyak perjuangan berat yang mesti dilewati ibu dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya, karenanya tidak salah jika ibu diberi predikat sebagai manusia mulia.



Ibu adalah pecetak generasi bangsa. Dari rahimnya mampu melahirkan anak-anak berkualitas. Ibu juga merupakan sosok hebat yang mampu melakukan tugas-tugasnya tanpa mengenal lelah. Bagaimana tidak, ibu dituntut harus bisa mengurus semua urusan rumah tangga, mulai dari A sampai Z.

Sayangnya, saat ini banyak kendala yang mengusik ketenangan ibu dalam menjalankan tugas mulianya, seperti harga kebutuhan bahan pokok yang mahal. Pun, biaya kesehatan dan pendidikan yang meroket. Belum lagi, kondisi masyarakat yang rusak akibat pergaulan bebas merajalela. Semua itu menambah beban ibu dalam menjalani kehidupannya.

Menggerus Fitrah Ibu

Sistem kapitalisme telah menyeret kaum ibu untuk berlomba-lomba meninggalkan rumahnya demi turut menopang ekonomi keluarga. Himpitan ekonomi yang semakin menjepit menjadikan kaum ibu terpaksa atau bahkan dipaksa untuk bergelut dengan dunia kerja. Suami pun terpaksa mengizinkan, bahkan ada juga yang mendorong. Alasannya, tidak cukup kalau hanya suami yang bekerja. Wajar, sebab kapitalisme telah secara sistemik memiskinkan keluarga.

Jika ibu telah banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, maka tugas-tugasnya di dalam rumah tidak akan maksimal dilakukan, sebab lelah seharian beraktivitas di luar rumah. Sejatinya keadaan seperti ini sangat berbahaya untuk perkembangan anak. Ibu yang seharusnya menjadi sekolah pertama bagi anak justru tidak memiliki waktu untuk mendidik buah hatinya sendiri.

Pendidikan anak pun akan diserahkan pada pihak sekolah secara menyeluruh. Akhirnya, muncul lah generasi bermasalah akibat kurang asuh dan asih. Pergaulan bebas, narkoba, tawuran, merupakan dampak dari terciptanya jurang pemisah antara ibu dan anak. Selain sebab lainnya, seperti lemahnya pendidikan agama dan ketiadaan penjagaan dari masyarakat dan negara, dimana anak-anak yang mengalami keadaan seperti ini akan sibuk mencari ketenangan di luar rumah. Kalau sudah seperti ini, cita-cita melahirkan generasi emas hanya sebuah khayalan.

Mencetak Generasi Berkualitas

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Di pundak ibu lah terletak tanggung jawab perkembangan ruhiyah (mental), aqliyah (intelektual) dan jasadiyah (fisik) seorang anak. Dibutuhkan ilmu yang mumpuni bagi seorang ibu untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam mencetak generasi hebat. Memperhatikan asupan gizi anak guna menjaga kesehatan fisik dan mendidik akhlaknya.

Sebab, anak-anak dilahirkan dalam keadaan bersih. Ibarat kertas putih, ibunya lah yang membantu memberikan warna dalam kehidupan anak. Sekolah pertama yang akan menentukan nasib anak-anaknya. Yang seyogianya memenuhi hidup anak dengan karakter serta pemikiran yang baik. Mengajari menjadi anak yang saleh/salihah agar kelak menjadi investasi akhirat bagi orang tuanya.

Sebagaimana Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 6 yang artinnya, “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan–Nya.”

Seperti perjuangan ibunda Imam Asy Syafi’i dalam mendidik anaknya. Sebagaimana dikisahkan dalam banyak kitab, ayah imam Asy Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunya lah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikan hingga kemudian Muhmmad Bin Idris Asy Syfi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Syafi’i kecil hijrah dari Gaza menuju Mekkah.

Di Mekkah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih. Setelah itu, Ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung, 100 anak panah pernah dimuntahkan dari busurnya dan tak satu pun meleset dari sasaran.

Dengan taufik dari Allah Swt., kecerdasan dan kedalaman pemahaman, saat beliau baru berumur 15 tahun, Imam Asy Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal ini tentu tidak lepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas.

Maka, sungguh hanya sistem Islam yang mampu membebaskan kaum ibu dari keterpurukan. Sebab, bekerja bagi seorang wanita dalam pandangan Islam adalah mubah, sementara dalam sistem ini seolah menjadi wajib. Padahal, dalam sistem Islam, kesejahteraan kaum wanita dijamin. Ya, apabila ia tidak memiliki suami, maka wali atau saudara laki-lakinya yang berkewajiban menanggung nafkahnya. Sampai-sampai negara akan menanggung jika memang tidak ada seorang pun yang dapat menanggungnya. Artinya, dalam Islam kaum ibu begitu dimuliakan dan ditempatkan sesuai kodratnya.

Pun, Islam menjamin agar kaum ibu benar-benar dapat menjalankan tugas utama di rumahnya, sebagai wujud ketaatan kepada Rabb-Nya. Bahkan, Islam juga memerintahkan kaum ibu untuk menimba sebanyak-banyaknya tsaqofah Islam sebagai bekal dalam mendidik anak-anaknya serta bekal menjalani hidup yang Allah ridai. Dengan demikian, cita-cita mencetak generasi berkualitas pun mudah terwujud. Karena hakikatnya, hadiah terindah bagi seorang ibu adalah memiliki anak saleh/salihah yang selalu berbakti dan mendoakan setiap waktu. Wallahu a’lam bissowab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEKORASI SEDERHANA NAN ELEGAN

HINDARI BABY TALK

ANJURAN PUASA BAGI PENDERITA MAAGH